Senin, 25 April 2016

FITRAH KARTINI


            Ketika mendengar kata Kartini pasti sudah tidak asing lagi ditelinga kita, terutama para perempuan Indonesia. Siapa yang tidak kenal dengan RA Kartini atau biasa kita panggil Ibu Kartini, sosok perempuan yang sangat pemberani, tegar, dan bijaksana.
            Rupanya dibalik sosoknya itu tersimpan banyak cerita yang mungkin tidak kita ketahui.
Tentu kita tahu bahwa ibu Kartini lah yang mendobrak pikiran masyarakat bahwa wanita sederajat dengan pria, padahal kita sebagai umat muslim sangat tahu bahwa kodrat pria dan wanita berbeda. Demikian pula peran dan fungsinya sebagai khalifah dimuka bumi ini.
           
Rupanya, sosok Ibu Kartini dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk kampanye emansipasi yang menyalahi fitrah wanita, yakni wanita dan pria sederajat.
Kian hari emansipasi kian mirp dengan liberalisasi dan feminimisme. Sementara Kartini sendiri sesungguhnya makin meninggalkan semuanya, dan ingin kembali pada fitrahnya.



            Kartini adalah sosok perempuan yang berjuang habis-habisan untuk kaumnya. Namun satu hal yang jarang diungkapkan, bahkan terkesan disembunyikan dalam catatan sejarah, yaitu usaha Ibu Kartini untukmempelajari Islam dan mengamalkannya, serta bercita-cita agar islam
Disukai. Simak saja salah satu isi suratnya.
“moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja   membuat umat lain memandang agama islam disukai” ( surat Kartini kepada Nyonya. Von Kol, 21 Juli 1902)

            Sebagai pelajar seperti saya, pasti kita pernah mendengar judul salah satu buku Ibu Kartini yaitu “Habis Gelap Terbitlah Terang” atau bahasa Belanda nya “Door Duisternis Tot Licht”. Marilah kita simak asal mulanya judul buku habis gelap terbitlah terang.
Prof. Haryati Soebadio (cucu tiri Ibu Kartini) mengartikan kalimat “Door Duisternis Tot Licht” sebagai “Dari Gelap Menuju Cahaya” yang bahasa Arabnya adalah “Minazh-Zhulumati Ilan-Nuur”. Kata dalam bahasa Arab tersebut tidak lain, merupakan inti dari dakwah Islan yang artinya  “membawa manusia dari kegelapan (Jahiliyah) ketempat yang terang benderang (hidayah atau kebenaran Ilahi”

            Kartini ingin menjadi muslimah sejati. Ketika Kartini belajar mengaji Al-Qur’an. Gurunya marah, dikarenakan Kartini bertanya makna dari Al-Qur’an. Pada waktu mereka percaya bahwa Al-Qur’an tidak boleh diterjemahkan dalam bahasa Jawa, karna Al-Qur’an itu suci.
Suatu ketika Ibu Kartini “menguping” pengajian bulanan khusus anggota keluarga dirumah pamannya. Penceramahnya yaitu kyai Haji. Mohammad Sholeb bin Umar, seorang ulama besar, mengajarkan tafsir surat Al-Fatihah.

            Selesai acara, Kartini menemui kyai tersebut, mereka berbincang mengenai makna-makna surat Al-fatihah yang membuat hati Kartini bergetar.
Setelah pertemuannya dengan Kartini, kyai sholeh tergugah untuk menerjemahkan Al-qur’an dalam bahasa Jawa. Pada hari pernikahan Kartini kyai Sholeh menghadiahkan Al-qur’an.

            Saat mempelajari Al-islam lewat Al-qur’an terjemah bahasa Jawa itu, Kartini menemukan surat Al-baqarah ayat: 257, “bahwa Allahlah yang membiming orang-orang yang beriman dari gelap kepada cahaya(minazh-zhulumati ilan-nuur).” Kartini langsung terkesan dengan kata-kata minazh-zhulumati ilan-nuur yang berarti dari gelap kepada cahaya.
Dalam banyak suratnya sebelum wafat,  Kartini banyak sekali mengulang-ulang kalimat “dari gelap kepada cahaya” ini. Karen Kartini selalu menulis suratnya dalam bahasa Belanda, maka kata-kata ini dia terjemahkan dengan “Door Duisternist Tot Licht”
Inilah penjelasan asal mula kata-kata “habis gelap terbitlah terang” mari simak surat Ibu Kartini
“ kami disini memohon di usahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karna kmai yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kau wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama (surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902).

            Inilah gagasan Kartini yang sebenarnya, namun kenyataannya sering diartikan secara sempit dengan satu kata: emansipasi. Sehingga setiap orang bebas mengartikan semaunya.

Kartini berada dalam proses dari kegelapan menuju cahaya. Namun, cahaya itu belum pernah menyinarinya secara terang benderang, karena terhalang oleh tabir tradisi dan usaha westernisasi. Kartini telah kembali kepda pemiliknya sebelum ia menuntaskan usahanya untuk mempelajari Islam dan mengamalkannya seperti yang di idam-idamkannya.


Wallahu’alam bish-shawab.



(Tulisan  NURBAITI, Siswi Kls X, SMKIT Mutiara Azzam Palembang, Pemenang lomba penulisan artikel Dalam acara Peringatan hari kartini, 21 april 2016 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar