Rabu, 13 Oktober 2010

Saudariku, istiqomahlah……..!



Saudariku, hari ini, kembali ku melepas seorang adik meninggalkan masa lajangnya. Ada perasaan nelangsa, setiap kali peristiwa itu terjadi. Disatu sisi ‘bahagia’ karena dia telah menggenapkan separuh dien-nya, disisi lain ‘khawatir’ bila perubahan status akan membuat ia menjauh dari arena yang sudah digeluti bersama.
Kubiarkan sejenak kembaraku menelusuri ‘lahan kebun’ yang telah diamanahkan kepadaku untuk digarap, supaya menjadi ‘muntijah’ (menghasilkan). Telah diberikan berbagai jenis tanaman untuk diolah supaya tumbuh dan berkembang, diharapkan nantinya mampu menghasilkan generasi baru dengan pengembangan varietas (jenis) yang lebih baik dari sebelumnya.
Mulailah aku mengolah kebunku dengan seksama, kusiram dan kupupuk dengan pupuk yang sesuai jenis tanamannya, serta perlakuan-perlakuan lainnya yang bermanfaat untuk tiap-tiap jenis. Kuusahakan semuanya tercatat dan teragenda dengan seksama. Kadang-kadang perlakuan satu jenis tanaman berbeda dengan yang lainnya, karena bila salah perlakuan untuk satu jenis saja, bisa fatal akibatnya. Misalnya : jenis ‘kaktus’ tidak harus selalu disiram, karena dia mampu bertahan dengan persediaan air dalam ‘tubuhnya’ untuk beberapa waktu. Bila dia diberi asupan air berlebihan maka dapat menyebabkan pembusukan di batangnya sehingga cepat ‘mati’. Berbeda dengan jenis tanaman yang harus selalu kena air, misalnya kembang ati-ati (nama latinnya apa ya?), kalo tidak disiram satu hari saja maka akan layu dan mati. Begitu juga dengan hal-hal lain seperti pemupukan, pengaturan alur tanaman, pengolahan tanah sampai kepada pencegahan terhadap tanaman pengganggu, semuanya harus menjadi perhatian yang sungguh-sungguh.
Waktu pun berganti, bahagia rasanya menyaksikan kebunku mulai memperlihatkan geliat pertumbuhannya. Tanaman-tanaman itu satu persatu tumbuh dan berkembang sesuai harapan. Bunga-bunganya mulai bermekaran. Aromanya yang harum mewangi pun merebak kemana-mana. Pun sampai ke kebun-kebun tetangga, mengundang kumbang-kumbang yang memang telah ‘siap’ bergerilya mencari madu. Satu per satu pun mulai dihinggapi kumbang dan kekhawatiran pun muncul. Karena setelah berhasil menghisap madunya, apakah bunga tersebut dapat melanjutkan prosesnya, menghasikan buah yang bermanfaat untuk sekelilingnya ataukah menjadi layu dan mati terhempas oleh angin yang menerjang sehingga ia akan tersingkir dari ‘kebun’ tempat ia dibesarkan. Tak sempat bermetamorfhosis lagi?. Dan tanaman yang telah berbuah pun tetap memerlukan pemantauan atas keberlangsungannya, apakah hanya mampu berbuah dan berbuah sepanjang tahun ataukah juga mampu beregenerasi, menumbuhkan tanaman baru dari buahnya tersebut, dan seterusnya…
Saudariku, begitulah tarbiyah layaknya, bahwa disana juga ada ‘seleksi alam’, dimana yang kuatlah yang akan eksis. Mengutip kata-kata seorang qiyadah “bahwa kontribusi dakwah seorang kader baru akan tampak jelas saat dia telah menggenapkan separuh diennya”. Dia boleh militant, mobile, kenceng amanahnya, bisa diandalkan pada saat dia lajang, tapi akan lebih terasa lagi hal itu apabila dia sudah memasuki mahligai rumah tangga.
Telah banyak fenomena kader yang “berguguran di jalan dakwah” hanya karena faktor ini , ‘kenceng’ dakwahnya saat ‘lajang’, tapi jadi ‘kendor’ setelah ‘berumah tangga’. Fenomena yang menjadikan seorang kader yang semula namanya ‘bergaung di mana saja’ tapi kemudian menjadi ‘nyaris tak terdengar’ (mirip iklan mobil Fanther, hehehe).
Saudariku, adalah manusia yang selalu membutuhkan proses untuk kelangsungan hidupnya. Dalam proses itu ada yang dinamakan ‘adaptasi’. Hal inilah yang selalu mereka lakukan saat memasuki arena “baru” yang asing bagi mereka sebelumnya. Khusus untuk kali ini arenanya adalah : dari “masa lajang” ke arena “mahligai rumah tangga”. Dari masa ke’sendiri’an-nya kepada pengelolaan ‘berkeluarga’. Bagi yang berhasil melalui adaptasinya dengan baik, maka masalahnya akan selesai, sehingga kehidupan berumahtangga bukanlah penghalang untuk eksis di arena ‘dakwah’. Tapi bagi yang tidak berhasil dia akan tenggelam bersama ‘kenangan dakwah’ yang indah. Waktu adaptasinya juga bervariasi, ada yang sebentar, ada juga yang membutuhkan waktu bertahun-tahun, malahan lebih lama lagi. Mulai dari memasuki tahun-tahun pertama pernikahan, proses pengenalan pasangan, adaptasi masa kehamilan dan punya jundi, masalah ma’isyah, dan sebagainya dan sebagainya… Semuanya tidak akan selesai apabila kita tidak melakukan tawadzunitas, seimbang dan proporsional dalam segala hal. Apalagi sengaja membenturkan masalah rumah tangga dengan masalah dakwah. Lebih parah lagi apabila kita mulai meninggalkan lahan yang sudah kita tempati bersama, dengan alasan merasa tidak nyaman lagi disana atau merasa kecewa berkepanjangan dengan ‘rekan-rekan seperjuangan’ yang seakan-akan tidak peduli (tidak membutuhkan kita lagi). Padahal dijelaskan dalam hadist Rasulullah SAW, bahwa :”akan selalu ada dari kalangan umatku sekelompok kaum yang tetap eksis di atas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang yang mengabaikannya hingga datang hari kiamat.” (HR. Ahmad, dll)
Saudariku, janganlah berburuk sangka dengan saudara-saudara kita yang telah lama menjalin ukhuwah karena Allah SWT. Marilah berpikir positip tentang lahan yang telah kita yakini bersama karena itu layaknya lahan hidup kita. Ada kalimat yang dikutip dari Seorang akh bahwa “Tarbiyah menuntun kita menjadi sukses bertanam di lahan hidup, di sana ada taman diskusi, di dalamnya ada taman motivasi saling menjaga dan mengingatkan, juga taman-taman iman, ukhuwah, cinta, dan kerinduan. Dan di sana juga ada medan yg disiapkan utk peperangan!!! “
Mari Saudariku, tetaplah istiqomah ba’da walimah, tetap berdiri tegar menghadapi gelombang ujian pasca pernikahan, dan tetap seperti bintang yang terang benderang menerangi kehidupan. Dan Allah SWT senantiasa akan menjaga dan melindungimu, semoga. Amin yba.