Rabu, 10 November 2010

MOGOK SEKOLAH




“Pokoknya Azzam tidak mau sekolah…!!!” teriak Azzam sengit pagi ini. Umi sangat gusar mendengarnya. Sudah sedari tadi umi berusaha membujuknya dengan segala cara, tapi ia tetap tidak mau. Azzam mogok sekolah. 
 Hari ini, disekolahAzzam ada acara latihan manasik haji untuk anak-anak TK. Dan entah mengapa Azzam benar-benar tidak mau mengikuti aktifitas itu. Umi dan abi juga bingung dengan sikap Azzam itu. Sudah dua hari yang lalu, sewaktu diumumkan acaranya lewat buku kerjasama, Azzam sudah menyatakan keengganannya untuk ikut. Umi pikir itu Cuma perasaan sesaatnya Azzam, ternyata sampai hari H pun sikap Azzam tidak berubah. Dalam diri Azzam pun merasa aneh dengan umi-abinya, padahal sudah dari kemarin-kemarin ia menyatakan perasaannya tapi kenapa sampai hari ini pun umi masih juga nyuruh-nyuruh ikut acara itu, “uh, sebel...umi-abi tidak asyik nih!!” begitu pikir Azzam, makanya waktu umi dan abi dengan sedikit bentakan memaksa, Azzam pun jadi berontak dan berteriak keras plus sengit seperti diatas, hingga memecahkan keheningan pagi. Hanya dedek Askar saja yang tetap asyik mendengkur memeluk bantalnya, rupanya ia masih letih sehabis bermain seharian. Akhirnya, dengan persetujuan abi, umi membiarkan Azzam tidak sekolah hari ini, itupun setelah Azzam sempat nangis. “Ih, umi-abi ini lucu, kalo aku sudah nangis aja, baru deh diizinkan gak sekolah” bathin Azzam. Yah, pagi ini hanya bang Aziz, kakaknya Azzam, yang berangkat ke sekolah dengan semangat, kebetulan acara latihan manasik haji itu diikuti anak-anak SD juga, yang masih di kelas 1, 2 dan 3.
Azzam kembali gerah dengan pertanyaan umi yang bertubbi-tubi, uh, umi gak bisa banget liat azzam rehat barang sedikit, sekarang sudah menginterogasi lagi, mungkin begitu pikir azzam yang tengah bermain puzzle. Baru juga mau menikmati libur, yang azzam ciptakan sendiri, eh malah dikejar-kejar sama pertanyaan yang males tuk dijawab. Ah, azzam cemberut dan diam aja awalnya, tapi karena umi terus bertanya, dan dibumbui tentang cerita anak yang gak boleh bohong, akhirnya azzam luluh juga. Ia mulai menceritakan alasannya tentang anak yang sering memukulnya di sekolah. Azzam malas sekali bertemu dengan anak itu, memang sih sudah selesai masalahnya, karena Bunda (begitu azzam memanggil gurunya di sekolah) sudah mennyuruh azzam untuk memukul balik anak tsb. Tapi mungkin bagi Azzam masih jadi trauma. Memang diantara anak-anak uni Azzam adalah yang paling lembut hati alias tak suka kekerasan, walaupun sering mendekati agak cengeng, itu sih kata umi yang agak prihatin mendengar cerita Azzam. Umi pun berjanji dalam hati untuk menanyakan langsung ke bunda azzam di sekolah.
Azzam agak lega setelah bercerita dengan umi. Dan sekarang tidak ada halangan lagi nih untuk menikmati liburku ini, azzam pun tersenyum. Ia pun meneruskan aktifitasnya, yaitu bermain, bermain dan bermain. Ha ha ha ha menyenangkan sekali, seru azzam dalam hati. Ia sudah bertekad untuk bermain dan berpetualang sepanjang hari, mungkin lebih seru nih kalo ngajak adek Askar. Ah, sayang saking capeknya adek Askar belum juga bangun sampai detik ini. Mau main ke rumah teman, semuanya pada sekolah. Azzam mulai sedikit bosan nih. Tapi dia tetap berpikir untuk mensukseskan hari libur ciptaannya, padahal kata umi sih bukan libur, tapi ‘bolos’, huuu.. dasar umi, syirik aja. Azzam tak peduli. 

Akhirnya dedek Askar pun bangun, ah bakal lebih seru nih, bathin azzam. Setelah Askar mandi dan sarapan yang dengan setia ditungguin oleh Azzam, mulailah mereka berkolaborasi dalam permainan. Awalnya sih anteng-anteng saja, sesekali terdengar gelak tawa mereka berdua. Tapi tiba-tiba, “uwaaaa….. umiiii…!!”, terdengar lengkingan suara Askar seketika
Umi segera mendekat dan melongokkan kepala untuk melihat apa yang terjadi. Oh, mereka sedang berebut mainan. Umi membiarkan sesaat dengan harapan mereka bisa menyelesaikannya sendiri. Suara tangis askar semakin keras, sedang Azzam masih ngotot mempertahankan mainannya. Tampaknya harus ada orang ketiga, umi segera melerai keduanya dengan sedikit mengingatkan hapalan hadist Azzam, hadist tak boleh marah dan hadist kasih sayang. Ternyata strategi umi berhasil, setelah berjabatan tangan saling maaf-maafan, Azzam merelakan mainannya untuk Askar. Alhamdulillah, bathin umi lega. Tapi bagi Azzam sebaliknya, sekarang keadaan tidak menyenangkan lagi, karena adek Askar yang masih beruraian air mata lebih memilih berada di gendongan umi ketimbang melanjutkan bermain dengannya. Ah, dedek Askar nih nggak asyik banget, bathin Azzam. Sekarang Azzam bermain sendiri. Lama-lama ia mulai bosan dan uring-uringan. Tak ada yang dapat diajak main, lagian ia sekarang merasa semua permainan sepertinya sudah ia mainkan hari ini, kecuali satu, Aplikasi Game di komputer, dan itu tidak diperbolehkan abi, sebagai hukuman bagi Azzam yang bolos hari ini.Semakin lama semua permainan itu tidak menyenangkan lagi. Hu..uh bosan, Ah, nasib, nasib, ternyata bolos itu tidak menyenangkan, Azzam mulai merenung. Ia mulai menyesal kenapa bolos hari ini, sudah tidak bisa main dengan teman-teman sebaya, eh ditambah lagi tidak bisa melakukan permainan yang sangat disukainya sebagai bentuk hukuman dari abi, nge-game di komputer.
Umi memperhatikan nanda Azzam yang lagi uring-uringan dari jauh, ia tersenyum. Dipanggilnya Azzam yang segera menoleh dengan malas. Azzam pun menyeret langkahnya mendekati umi, wajahnya ditekuk. Ada apa lagi nih umi, kog senyum-senyum aja.
“Nah, bagaimana zam… enak ndak kalo tidak sekolah?” Tanya umi.
“Tidak enak..” jawab Azzam. Wajahnya masih ditekuk.
“jadi, besok mau bolos lagi ndak?” Tanya umi menyelidik.
“Tidaklah mi.., Azzam mau sekolah besok” Azzam bersemangat lagi.
Umi tersenyum sambil mengusap kepala Azzam, “Bagus, nah mulai besok gak usah bolos-bolos lagi ya..”.
Azzam pun meng-iya kan sembari dalam hati ia akan ngomong hal yang sama ke abinya nanti, sewaktu abi sudah pulang. Umi kembali memperhatikan Azzam yang sudah berlari mendekati adiknya Askar, mereka main sama-sama lagi. Ah, anak-anak..bathin umi. Kembali umi teringat kata-kata seorang teman dekatnya “Bahwa anak-anak harus dibiarkan belajar konsekuensi dari tindakannya sendiri, sehingga kesadaran akan timbul secara alamiah, tanpa dipaksakan. Dan itu akan menjadi kekayaan pengalaman hidup bagi mereka yang tidak akan terlupa”.
Umi jadi merenung sendiri dan mulai berpikir, sepertinya besok-besok pun tidak perlu maksa-maksa bikin PR sama abang Aziz, tinggal diingatkan saja, kalau dia tidak mengerjakan berarti dia sendiri yang akan malu dihadapan teman-temannya, dihukum gurunya, sebagai konsekuensi dari tindakannya. Alhamdulillah, ya Allah hari ini hamba tlah belajar dari makhluk kecilmu yang bernama AZZAM.

Rabu, 13 Oktober 2010

Saudariku, istiqomahlah……..!



Saudariku, hari ini, kembali ku melepas seorang adik meninggalkan masa lajangnya. Ada perasaan nelangsa, setiap kali peristiwa itu terjadi. Disatu sisi ‘bahagia’ karena dia telah menggenapkan separuh dien-nya, disisi lain ‘khawatir’ bila perubahan status akan membuat ia menjauh dari arena yang sudah digeluti bersama.
Kubiarkan sejenak kembaraku menelusuri ‘lahan kebun’ yang telah diamanahkan kepadaku untuk digarap, supaya menjadi ‘muntijah’ (menghasilkan). Telah diberikan berbagai jenis tanaman untuk diolah supaya tumbuh dan berkembang, diharapkan nantinya mampu menghasilkan generasi baru dengan pengembangan varietas (jenis) yang lebih baik dari sebelumnya.
Mulailah aku mengolah kebunku dengan seksama, kusiram dan kupupuk dengan pupuk yang sesuai jenis tanamannya, serta perlakuan-perlakuan lainnya yang bermanfaat untuk tiap-tiap jenis. Kuusahakan semuanya tercatat dan teragenda dengan seksama. Kadang-kadang perlakuan satu jenis tanaman berbeda dengan yang lainnya, karena bila salah perlakuan untuk satu jenis saja, bisa fatal akibatnya. Misalnya : jenis ‘kaktus’ tidak harus selalu disiram, karena dia mampu bertahan dengan persediaan air dalam ‘tubuhnya’ untuk beberapa waktu. Bila dia diberi asupan air berlebihan maka dapat menyebabkan pembusukan di batangnya sehingga cepat ‘mati’. Berbeda dengan jenis tanaman yang harus selalu kena air, misalnya kembang ati-ati (nama latinnya apa ya?), kalo tidak disiram satu hari saja maka akan layu dan mati. Begitu juga dengan hal-hal lain seperti pemupukan, pengaturan alur tanaman, pengolahan tanah sampai kepada pencegahan terhadap tanaman pengganggu, semuanya harus menjadi perhatian yang sungguh-sungguh.
Waktu pun berganti, bahagia rasanya menyaksikan kebunku mulai memperlihatkan geliat pertumbuhannya. Tanaman-tanaman itu satu persatu tumbuh dan berkembang sesuai harapan. Bunga-bunganya mulai bermekaran. Aromanya yang harum mewangi pun merebak kemana-mana. Pun sampai ke kebun-kebun tetangga, mengundang kumbang-kumbang yang memang telah ‘siap’ bergerilya mencari madu. Satu per satu pun mulai dihinggapi kumbang dan kekhawatiran pun muncul. Karena setelah berhasil menghisap madunya, apakah bunga tersebut dapat melanjutkan prosesnya, menghasikan buah yang bermanfaat untuk sekelilingnya ataukah menjadi layu dan mati terhempas oleh angin yang menerjang sehingga ia akan tersingkir dari ‘kebun’ tempat ia dibesarkan. Tak sempat bermetamorfhosis lagi?. Dan tanaman yang telah berbuah pun tetap memerlukan pemantauan atas keberlangsungannya, apakah hanya mampu berbuah dan berbuah sepanjang tahun ataukah juga mampu beregenerasi, menumbuhkan tanaman baru dari buahnya tersebut, dan seterusnya…
Saudariku, begitulah tarbiyah layaknya, bahwa disana juga ada ‘seleksi alam’, dimana yang kuatlah yang akan eksis. Mengutip kata-kata seorang qiyadah “bahwa kontribusi dakwah seorang kader baru akan tampak jelas saat dia telah menggenapkan separuh diennya”. Dia boleh militant, mobile, kenceng amanahnya, bisa diandalkan pada saat dia lajang, tapi akan lebih terasa lagi hal itu apabila dia sudah memasuki mahligai rumah tangga.
Telah banyak fenomena kader yang “berguguran di jalan dakwah” hanya karena faktor ini , ‘kenceng’ dakwahnya saat ‘lajang’, tapi jadi ‘kendor’ setelah ‘berumah tangga’. Fenomena yang menjadikan seorang kader yang semula namanya ‘bergaung di mana saja’ tapi kemudian menjadi ‘nyaris tak terdengar’ (mirip iklan mobil Fanther, hehehe).
Saudariku, adalah manusia yang selalu membutuhkan proses untuk kelangsungan hidupnya. Dalam proses itu ada yang dinamakan ‘adaptasi’. Hal inilah yang selalu mereka lakukan saat memasuki arena “baru” yang asing bagi mereka sebelumnya. Khusus untuk kali ini arenanya adalah : dari “masa lajang” ke arena “mahligai rumah tangga”. Dari masa ke’sendiri’an-nya kepada pengelolaan ‘berkeluarga’. Bagi yang berhasil melalui adaptasinya dengan baik, maka masalahnya akan selesai, sehingga kehidupan berumahtangga bukanlah penghalang untuk eksis di arena ‘dakwah’. Tapi bagi yang tidak berhasil dia akan tenggelam bersama ‘kenangan dakwah’ yang indah. Waktu adaptasinya juga bervariasi, ada yang sebentar, ada juga yang membutuhkan waktu bertahun-tahun, malahan lebih lama lagi. Mulai dari memasuki tahun-tahun pertama pernikahan, proses pengenalan pasangan, adaptasi masa kehamilan dan punya jundi, masalah ma’isyah, dan sebagainya dan sebagainya… Semuanya tidak akan selesai apabila kita tidak melakukan tawadzunitas, seimbang dan proporsional dalam segala hal. Apalagi sengaja membenturkan masalah rumah tangga dengan masalah dakwah. Lebih parah lagi apabila kita mulai meninggalkan lahan yang sudah kita tempati bersama, dengan alasan merasa tidak nyaman lagi disana atau merasa kecewa berkepanjangan dengan ‘rekan-rekan seperjuangan’ yang seakan-akan tidak peduli (tidak membutuhkan kita lagi). Padahal dijelaskan dalam hadist Rasulullah SAW, bahwa :”akan selalu ada dari kalangan umatku sekelompok kaum yang tetap eksis di atas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang yang mengabaikannya hingga datang hari kiamat.” (HR. Ahmad, dll)
Saudariku, janganlah berburuk sangka dengan saudara-saudara kita yang telah lama menjalin ukhuwah karena Allah SWT. Marilah berpikir positip tentang lahan yang telah kita yakini bersama karena itu layaknya lahan hidup kita. Ada kalimat yang dikutip dari Seorang akh bahwa “Tarbiyah menuntun kita menjadi sukses bertanam di lahan hidup, di sana ada taman diskusi, di dalamnya ada taman motivasi saling menjaga dan mengingatkan, juga taman-taman iman, ukhuwah, cinta, dan kerinduan. Dan di sana juga ada medan yg disiapkan utk peperangan!!! “
Mari Saudariku, tetaplah istiqomah ba’da walimah, tetap berdiri tegar menghadapi gelombang ujian pasca pernikahan, dan tetap seperti bintang yang terang benderang menerangi kehidupan. Dan Allah SWT senantiasa akan menjaga dan melindungimu, semoga. Amin yba.

Senin, 27 September 2010

(1001 Cerita Cinta Ibu dan anaknya)

EPISODE INDAH BERSAMA BUNDA

Bunda adalah orang yang pertama kali mengukir kenangan indah dalam hidupku. Penuh kasih sayang. Begitu lembut. Walaupun dalam kelembutannya, tersimpan ketegasan yang membuatku segan dan patuh padanya. Darinya aku belajar banyak hal tentang hidup dan kehidupan.

Seingatku, bunda adalah sosok yang sangat akrab sejak kecilku. Ada juga sih kakak-kakak yang memenuhi memoriku, mengingat aku adalah anak bontot dalam keluarga. Tapi peran mereka bagiku merupakan perpanjangan tangan dari peran bunda secara keseluruhan. Yah, karena kami ada enam bersaudara, jadi tidak mungkin bunda dapat mengawasi kami sekaligus seorang diri. Apalagi dengan peran ganda yang dilakoninya, karena selain sebagai ibu rumah tangga bunda juga punya warung kelontongan untuk menunjang ekonomi keluarga. Ups…cukup berat ternyata perjuangan bunda. Memang perjuangan itu dipikul bersama ayah juga. Tapi karena ayah yang pegawai kantoran,terlalu banyak di luar, maka belaian kasih sayangnya tidak terlalu membekas. Apalagi ayah lebih sering pulang dalam keadaan marah-marah (mungkin karena tugas kantor yang bikin stress atau apalah), sehingga kami, anak-anaknyanya tidak terlalu nyaman berdekatan dengan beliau. Malahan bagiku ayah adalah sosok yang asing dan terkesan menakutkan waktu itu. Baru setelah dewasa aku menyadari bahwa peran ayah dan bunda sama pentingnya, keduanya tak dapat tergantikan.Tanpa keduanya, aku tak mungkin bisa menjadi seperti sekarang. Ayah mengajarkan ketegasan dan kemandirian, sedang bunda mendidik dengan kelembutan dan kasih sayang.

Pada masa kecilku, hanya di dekat bundalah aku bisa merasakan kenyamanan. Aku selalu mengidolakan bunda. Bunda memberikan hampir semua hal yang kuinginkan. Dari Mainan, pakaian, dan barang-barang lain yang kubutuhkan, sampai hal-hal lain yang bukan dalam wajud materi, seperti motivasi, rambu-rambu kehidupan dan sebagainya. Tapi, dari sekian banyak hal yang ku dapatkan dari bunda sampai saat ini, baru kusadari bahwa masalah moral adalah hal utama yang ditekankan bunda pada kami,anak-anaknya, sejak awal. Misalnya sebagai seorang muslim, kita harus sholat 5 waktu sehari semalam, dan itu wajib bagi yang sudah baliq (berakal), dsb sampai kehal-hal yang prinsip misalnya: kita tidak boleh mengambil hak orang lain malahan harus menghormatinya. Termasuk masalah hutang, selalu bunda tanamkan agar jangan sampai lupa melunasinya.

Ada kisah yang tak terlupakan bersama bunda yang selalu menginspirasiku sampai sekarang. Hari itu, aku yang baru di tahun kedua sebuah SMAN, minta uang ke bunda untuk beli baju. Ada acara reuni teman-teman SMP. Saat itu, aku ngerasa sudah waktunya untuk beli baju baru, karena lebaran sebelumnya kulalui tanpa baju baru. Padahal sebenarnya lebaran itu adalah hari kemenangan bagi yang merayakannya, bukan identik dengan baju baru, itu sih kata bunda. aku sudah ngerayu bunda dari pagi, tapi sudah lepas dzuhur belum ada tanda-tanda bunda mengabulkan permintaanku. Dengan sabar menunggu bunda selesai sholat, kuulangi lagi permintaan itu, “boleh ya bun…?” dengan sedikit rengekan, sambil tanganku membantu melipat sejadah bunda. Bunda tersenyum dan segera membuka laci lemari, aku tau walaupun kami hidup dalam kesederhanaan tapi bunda selalu punya simpanan. Ini juga merupakan pelajaran yang bunda turunkan padaku nantinya. Dengan ceramah panjang Bunda memberikan uang kepadaku, wanti-wanti agar tidak terlalu boros membelanjakannya dan kalo ada lebihnya ditabung, bla bla bla. Aku mengiyakan semua perkataan bunda yang hanya sebagian terdengar, di pikiranku sekarang sudah tidak ke bunda lagi, sudah kubayangkan rencana beli baju yang sudah lama diimpikan. Setelah janjian dengan seorang teman, aku segera mandi dan siap-siap untuk pergi tapi tiba-tiba bunda mengetuk kamarku tergesa, dan begitu pintu terbuka ia langsung mengatakan hal yang tak bisa ku percaya, “ nak, bunda minta kembali uang tadi ya…kamu beli bajunya lain kali saja. Maafkan bunda ya..bunda lupa kalo uang itu untuk bayar hutang dan bunda sudah janji hari ini ngebayarnya….”. Hah??? Shock sekali mendengarnya. Dengan wajah mberengut kesal kuserahkan kembali uang yang sudah ditanganku. Hampir saja kubanting pintu kamar sebelum bunda berlalu dengan kata-kata manisnya. “Hutang kan harus dilunasi tepat waktu nak, insyaAllah kalo kamu ikhlas nanti akan dapat ganti yang lebih baik dari Allah SWT…”. Bah, kejamnya bunda.., jahatnya bunda… sesalku saat itu bersama lelehan air mata yang sudah meluncur di pipi, entah sejak kapan. Setelah membatalkan janji dengan teman, kukunci pintu yang tidak jadi kubanting, ingat bahwa surga di bawah telapak kaki ibu, tapi tak urung siang itu kulewatkan makan siang sebagai bentuk protesku.

Malamnya, bunda mengetuk pintu kamarku dengan lembut, awalnya tak ingin kubuka, tapi ingat durhaka bila tidak mengindahkan bunda, dengan malas akhirnya kubuka juga pintunya. Bunda masuk dengan membawa sepiring makan malam dan segelas air. So sweet…, tapi kusembunyikan rasa haru dalam diam. Bunda meletakkan piring nasi dan gelas di meja belajarku setelah kuisyaratkan ‘belum mau makan’. Lalu duduk disebelahku sambil berkata “masih marah sama bunda, nak..?” kegelengkan kepala sedikit. Seketika mengalir cerita bunda menjelaskan kejadian yang sebenarnya bahwa rekan usaha bunda yang menagih hutang tadi sedang dalam posisi yang tidak mengenakkan, terancam gulung tikar, sedangkan bunda tidak punya uang lebih selain yang ada tadi. Aku sedikit terhibur, tapi masih penasaran, kuberanikan tuk bertanya “tapi semua uang tadi hanya untuk bayar hutang ya bun…?” . Bunda tersenyum bijak “ tidak, nak memang tadi ada lebih sedikit dan kalo pun kamu pake untuk beli ‘satu baju baru’ masih cukup, tapi mereka butuh untuk pinjaman modal dan bunda berikan…insyaAllah bermanfaat”. Aku terenyuh, oh bunda sungguh mulia hatimu. “maafkan aku , bunda. Aku egois kalo harus marah kepadamu, bun”. Batinku. Biarlah reuni nanti kupakai baju yang lama, toh masih banyak yang layak kupakai untuk hari itu. Sedangkan rekan bunda tersebut.., sungguh mengenaskan, menurut bunda untuk sehari-hari saja mereka sangat susah. Masih banyak wejangan yang diberikan bunda malam itu, di kamarku, kali ini aku mendengarkan dengan seksama seolah takut ada pesan yang terlewatkan. Tentu saja sambil melahap makananku yang keburu dingin, tapi rasanya tetap enak, hehehe .. kelaparan, kan dari siang nggak makan. Aku hampir lupa dengan kejadian itu sampai sehari sebelum acara reuni dengan teman-temanku, datanglah paket khusus untukku dari kakak di Jakarta. Surprise, kubuka isinya ternyata dua pasang baju muslimah trendy yang sesuai ukuranku. Aku sungguh terharu, langsung kucari bunda dan memberitahukan hal itu.”Alhamdulillah…” ujarnya. “terima kasih Allah, terima kasih bunda..”. Aku tahu pastilah bunda yang menghubungi kakak di Jakarta dan menceritakan masalah ini, tak terasa air mataku menetes lagi. Syukurku kepada Allah SWT atas karunia seorang bunda yang penuh perhatian dan kasih sayang.

Sampai sekarang masih kuingat pesan bunda untuk tidak menunda hak orang lain (hutang, dsb) dan bila kita senang ‘memberi’ kepada orang lain, niscaya kita akan menerima apa-apa yang kita inginkan dari arah yang tidak kita sangka sebelumnya. Banyak sekali kenangan-kenangan indah bersama bunda yang penuh hikmah, rasanya tak habis-habis bila harus mengurainya satu persatu. Kini mutiara-mutiara hikmah itu akan kubagikan kepada buah hatiku yang belum sempat bertemu dengan bunda (nenek mereka), karena sebelum ku melangkah ke mahligai rumah tangga, bunda telah berpulang ke rahmatullah. Semoga Allah SWT berkenan menerima amal sholeh beliau, melapangkan alam kuburnya, dan marahmatinya senantiasa, amin yba.

Bagiku bunda adalah pahlawan dalam kehidupanku. Beliau telah meletakkan dasar-dasar moral yang begitu mencengkram kuat dan berakar dalam hatiku, kupatri teguh, lalu mengejawantah dalam setiap langkahku. Semasa hidupnya beliau bagaikan alarm bagiku yang dapat mendeteksi saat aku buat kesalahan. Hingga kini walupun telah tiada, ia seperti buku manual buatku, walupun bukan yang utama. Karena yang utama tentulah Al qur’an dan hadist. Pesannya tetap mendarah daging dalam ingatanku, kuhapal diluar kepala dan menjadi sikap serta arah dalam hidupku secara spontan, atau yang sering disebut orang sebagai ‘karakter positif’. Terima kasih bunda, atas segala cinta dan ajaran hidup yang telah kau berikan. Terimakasih yaa Rabb, atas penciptaanMu yang tiada sia-sia.

***************************



(Diedit ulang untuk memeriahkan LOMBA cinta seorang ibu di 13 tahun sulungnya yang sholeh dan jalan membentang menjadi pengusaha kaos anak sholeh)
Buruan ikutan yuuukkkkk, !!!!